BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pada awal Abad ke 20 ini,
kecanggihan dunia modern serta tekhnologi yang berkembang cepat, masih banyak
diantara manusia yang peduli bahkan memperdayakan ilmu yang ada dan terkadang
sebagian orang tersebut sangat menggeluti didalamnya, padahal ilmu tersebut
adalah ilmu yang sulit dilogika akal oleh sebagian manusia. Ilmu tersebut
adalah ilmu kejawen.
Ilmu kejawen merupakan hasil
budaya masyarakat jawa atau suku jawa yang sudah diukir selama berabad-abad.
perkembangan ilmu kejawen pun sangat bervariasi disetiap generasi keilmuaannya.
Akan tetapi setelah melihat perkembangan yang sekarang serba modern ini, serta
banyaknnya budaya asing yang mempengaruhi keoriginalitas ilmu kejawen tersebut,
membuat ilmu kejawen mempunyai sudut pandang berbeda disetiap orang yang
mendefinisikan hakikat ilmu kejawen tersebut.
Akar Ilmu kejawen yang berkembang
ditengah masyarakat sekarang ini sangat bervariasi bentuknya, sangat banyaknnya
variasi ilmu kejawen tersebut membuat bimbang dan kurang mengetahui bentuk mana
aliran kejawen yang di perbolehkan dan mana aliran kejawen yang berbenturan
dengan norma agama, hukum Negara dan masyarakat secara global. Maka dari itu
sudut pandang yang berbeda bisa diambil titik temu dan merupakan hasil final
dari poin inti ilmu kejawen itu sendiri.
Salah satu sudut pandang yang
paling mengemuka diruang public adalah sudut pandang dari sisi agama Islam,
karena berkembangnya opini di masyarakat kita, ada yang mengatakan ilmu kejawen
itu syirik, kufur dan bid’ah, tapi ada sebagian dari orang Islam yang mendalami
kejawen memberikan opini bahwa ilmu kejawen merupakan hasil kulturasi yang di
sinergikan antara budaya jawa dengan kandungan atau kisi - kisi keislaman sebagai
bentuk syiar agama islam seperti yang telah di ajarkan oleh para walisongo.
Peneliti menganggap penting untuk
mengungkap kejanggalan serta mempunyai himmah yang tinggi untuk mengungkap poin-poin
penting dari ilmu kejawen dengan paradigma yang berbeda serta sudut pandang
yang berbeda. Maka dari itu peneliti mengambil judul “Ilmu Kejawen dalam
Presfektif Islam”.
B.
Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah pengertian dari ilmu kejawen itu?
2. Apa sajakah bentuk atau macam ilmu tersebut?
3. Bagaimanakah pandangan islam tentang ilmu kejawen?
4. Dan apa keterkaitan antara kejawen, islam, dan agama?
C.
Tujuan Penelitian
1.
Untuk
mengetahui apa yang dimaksud dengan ilmu kejawen.
2.
Untuk
mengetahui macam-macam ilmu kejawen.
3.
Untuk
mengetahui pandangan Islam tentang kejawen.
4.
Untuk
mengetahui keterkaitan atau kesamaan kejawen, Islam, dan agama.
D.
Metode Penelitian
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode sebagai
berikut:
1. Metode
Analisis Deskriptif
Penelitian deskriptif adalah suatu penelitian yang
diupayakan mencandra atau mengamati permasalahan secara sistematis dan akurat
mengenai fakta dan sifat obyek tertentu. Penelitian deskriptif ditujukan untuk
memaparkan dan menggambarkan dan memetakan fakta-fakta berdasarkan cara pandang
atau kerangka berfikir tertentu.
Menurut Whitney (1960), metode deskriptif adalah
pencarian fakta dengan interpretasi yang tepat. Penelitian deskriptif
mempelajari masalah-masalah dalam kehidupan masyarakat, serta tata cara yang
berlaku dalam masyarakat serta situasi-situasi tertentu, termasuk tentang
hubungan, kegiatan-kegiatan, sikap-sikap, pandangan-pandangan, serta
proses-proses yang sedang berlangsung dan pengeruh-pengaruh dari suatu
fenomena.
Pada hakikatnya, setiap penyelidikan mempunyai sifat
deskriptif dan senantiasa melakukan proses analitik. Akan tetapi, pada metode
deskriptif ini, proses deskripsi dan analisis mendapat tempat yang sangat
penting. Sebuah deskripsi dipandang sebagai represensi objektif dari permasalahan
yang diselidiki, sedangkan analisis deskriptif dipandang sebagai penjelasan
ilmiah yang menggunakan cara berfikir, cara pengupasan, dengan refrensi dan
titik tolak teori tertentu.
2. Content Analysis atau Analisis Data
Ricard Budd mengemukakan bahwa analisis isi adalah
teknik sistetis untuk menganalisis isi pesan dan mengolah pesan, atau alat
untuk mengobservasi dan menganalisis perilaku komunikasi yang terbuka dari
komunikator yang terpilih.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Ilmu Kejawen
Kejawen adalah kata bentukan yang berasal dari kata ke+jawi+an, dan
diucapkan Kejawen. Dalam kamus bahasa Jawa Kuna, entri Kejawen berarti menjadi
orang Jawa atau ke Jawa-jawa an (menyerupai orang Jawa). Sedangkan kata Jawi
itu sendiri dalam kamus bahasa Jawa baru berarti kata halus (krama) dari kata
Jawa, yang artinya orang atau bahasa Jawa.
Meskipun tidak ada istilah kejawen (sebagaimana dipahami orang-orang selama
ini) dalam berbagai kamus Jawa, namun sudah menjadi pendapat umum bahwa Kejawen
adalah sebuah ajaran/pengetahuan tentang olah batin yang bersumber dari
ajaran-ajaran para leluhur orang Jawa.
B.
Macam-macam Ilmu kejawenIlmu kejawen Istilah tersebut mungkin sudah sering kita dengar, khususnya bagi masyarakat Jawa. Kejawen, adalah suatu rangkuman dari berbagai ilmu tentang Keyakinan, filsafat, adat budaya, ataupun mistik khas suku jawa. Tetapi Kejawen juga bisa beradaptasi/menerima aliran lain yang intinya masih sejalur, contohnya yaitu adanya istilah Islam kejawen. Kejawen memang belum tentu semua Baik, tapi kita jangan pula gegabah menilai bahwa seorang penganut aliran kejawen tersebut adalah Musyrik, bid'ah, kafir atau sesat. Saudaraku dalamnya Laut mudah diselami, tapi dalamnya Hati dan ilmu seseorang sangat sulit diukur pasti. Para penganut Islam kejawen biasanya adalah Ahli dalam hal olah Rasa dan lelaku prihatin seperti Puasa, mutih, ngrowot, melek malam dzikir/wirid dll. Diantara mereka tersebut ada yg bertujuan sekedar demi mendapat Ilmu kesaktian, tapi ada juga yang tujuannya sangat dalam, karena menyangkut soal Ibadah, yaitu hubungan diri manusia dengan Alläh sang Maha pencipta. Sikap atau kata-kata para penganut kejawen terkadang memang sulit kita cerna dengan logika. Malah adapula seseorang yang kata-katanya kasar atau sok pinter. Dengan sikap orang yang demikian tadi, janganlah kita membantah secara frontal, tapi bersikaplah agak merendah/pura-pura bodoh, dan tetap sopan.
Berikut adalah klasifikasi ilmu berdasarkan fungsinya menurut Erlangga.
Mungkin orang lain membuat klasifikasi yang berbeda dengan klasifikasi menurut
Erlangga. Hal tersebut bukan masalah karena memang tidak ada rumusan baku
tentang klasifikasi ilmu kejawen.
1. Ilmu Kanuragan atau Ilmu Kebal
Ilmu kanuragan adalah ilmu yang berfungsi untuk bela
diri secara supranatural. Ilmu ini mencakup kemampuan bertahan (kebal) terhadap
serangan dan kemampuan untuk menyerang dengan kekuatan yang luar biasa.
Contohnya ilmu Asma’ Baja, Hizib Kekuatan Batin, Sahadad Pamungkas dll.
2. Ilmu Kawibaan dan Ilmu Pengasihan
Inilah ilmu supranatural yang fungsinya mempengaruhi
kejiwaan dan perasaan orang lain. Ilmu Kewibaan dimanfaatkan untuk menambah
daya kepemimpinan dan menguatkan kata-kata yang diucapkan. Orang yang menguasai
Ilmu Kewibawaan dengan sempurna akan disegani masyarakat dan tidak satupun
orang yang mampu melawan perintahnya apalagi berdebat. Bisa dikatakan bila Anda
memiliki ilmu ini Anda akan mudah mempengaruhi dan membuat orang lain nurut
perintah Anda tanpa berpikir panjang.
Sedangkan Ilmu Pengasihan atau ilmu pelet adalah ilmu
yang berkaitan dengan masalah cinta, yakni membuat hati seseorang yang Anda
tuju menjadi simpati dan sayang. Ilmu ini banyak dimanfaatkan pemuda untuk
membuat pujaan hati jatuh cinta padanya. Ilmu ini juga dapat dimanfaatkan untuk
membuat lawan yang berhati keras menjadi kawan yang mudah diajak berunding dan
memulangkan orang yang minggat. Contoh: ajian jaran goyang, ajian semar mesem,
dsb.
3. Ilmu Trawangan dan Ngrogosukmo
Jika Anda ingin tahu banyak hal dan bisa melihat
kemana-mana tanpa keluar rumah, maka kuasailah ilmu trawangan. Ilmu trawangan
berfungsi untuk menajamkan mata batin hingga dapat menangkap isyarat yang
halus, melihat jarak jauh, tembus pandang dan lain-lain. Sedangkan Ilmu
Ngrogosukmo adalah kelanjutan dari Ilmu Trawangan. Dalam ilmu trawangan hanya
mata batin saja yang berkeliaran kemana-mana, sedangkan jika sudah menguasai
ilmu ngrogosukmo seseorang bisa melepaskan roh untuk melakukan perjalanan
kemanapun dia mau. Baik Ilmu Trawangan maupaun Ngrogosukmo adalah ilmu yang
tergolong sulit dipelajari karena membutuhkan keteguhan dan kebersihan hati.
Biasanya hanya dikuasi oleh orang yang sudah tua dan sudah tenang jiwanya.
4. Ilmu Khodam
Seseorang disebut menguasai ilmu khodam bila orang
yang tersebut bisa berkomunikasi secara aktif dengan khodam yang dimiliki.
Khodam adalah makhluk pendamping yang selalu mengikuti tuannya dan bersedia
melakukan perintah-perintah tuannya. Khodam sesungguhnya berbeda dengan Jin /
Setan, meskipun sama-sama berbadan ghaib. Khodam tidak bernafsu dan tidak
berjenis kelamin.
5.
Ilmu Permainan (Atraksi)
Ada ilmu
supranatural yang hanya bisa digunakan untuk pertunjukan di panggung. Sepintas
ilmu ini mirip dengan ilmu kanuragan karena bisa memperlihatkan kekebalan tubuh
terhadap benda tajam, minyak panas dan air keras. Namun ilmu ini tidak bisa
digunakan untuk bertarung pada keadaan sesungguhnya. Contoh yang sering kita
lihat adalah ilmunya para pemain Debus.
6.
Ilmu Kesehatan
Masuk dalam kelompok ini adalah ilmu gurah
(membersihkan saluran pernafasan), Ilmu-ilmu pengobatan, ilmu kuat seks, dan
ilmu-ilmu supranatural lain yang berhubungan dengan fungsi bilologis tubuh
manusia.
C.
Pandangan Islam Tentang Ilmu Kejawen
Islam tidak
mengenal istilah atau ajaran kejawen. Secara bahasa maupun istilah di
dalam Al-Quran dan Al-Hadist tidak ditemukan penjelasan tentang kejawen. Banyak
versi yang mengatakan kejawen muncul seiring dengan datangnya para Wali Songo ke
Tanah Jawa dalam rangka menyebarkan ajaran agama Islam. Ketika itu para Wali
melakukan penyebaran agama dengan cara yang halus, yaitu memasukan unsur budaya
dan tradisi Jawa agar mudah diterima dan dipahami oleh masyarakat.
Menurut Dosen
Komunikasi Antar Budaya, Universitas Mercu Buana, Sofia Aunul, kejawen sangat
berbeda dengan ajaran islam. Istilah kejawen Islam muncul setelah para Wali
menyebarkan ajaran Islam. Mereka (Wali Songo) memasukkan unsur tradisi dan
budaya untuk memudahkan penyeberan agama Islam. “Kejawen dan Islam
adalah wujud sinkretisasi yang pada akhirnya menjadi tradisi yang dijalankan
oleh orang-orang Jawa hingga saat ini.”
Bambang Syuhada
seorang Ustadz yang memiliki perhatian khusus terhadap penyimpangan akidah
mengatakan. Kejawen tidak jelas asalnya, banyak yang mengatakan kejawen muncul
pertama kali setelah datangnya Sunan Kalijaga ke Tanah Jawa. Kala itu Sunan
menyebarkan agama lewat pementasan wayang dan seni tradisi masyarakat
Jawa. Dari situ terdapat penyatuan tradisi budaya Jawa dan Islam sehingga muncul
istilah kejawen. “Namun, penjelasan itu juga tidak banyak disediakan dalam
litelatur sejarah.”
Masih Menurut
Bambang Syuhada, ritual yang dilakukan masyarakat kejawen dalam aplikasi
dikehidupannya harus dilihat lebih dalam, Karena ritual-ritual tersebut
dikhawatirkan pada akhirnya menyimpang dari ajaran agama Islam. “Dalam kaidah
Islam, jika budaya itu berlangsung dan melanggar sisi Tauhid itu menjadi haram,
namun jika budaya itu digunakan hanya sebatas praktek-praktek muamalah itu
dibolehkan,” tutur Bambang Syuhada yang ditemui di Klinik Asy-Syifa
miliknya di kawasan Tangerang.
إِذَا اسْتَجْنَحَ اللَّيْلُ أَوْ كَانَ جُنْحُ اللَّيْلِ فَكُفُّوا صِبْيَا نَكُمْ فَإِنَّ
الشَّيَاطِيْنَ تَنْتَشِرُ حِيْنَئِذٍ، فَإِذَا ذَهَبَ سَاعَةٌ مِنَ الْعِشَاءِ
فَخَلُّوهُمْ، وَأَغْلِقْ بَابَكَ وَاذْكُرِ اسْمَ الله… الْحَدِيْثَ
“Apabila malam telah datang (setelah matahari
tenggelam), tahanlah anak-anak kalian, karena setan bertebaran ketika itu.
Apabila telah berlalu sesaat dari waktu ‘Isya lepaskanlah (biarkanlah) mereka,
tutuplah pintumu, dan sebutlah nama Allah (mengucapkan bismillah).”
Ada tradisi kejawen yang diperbolehkan dalam
agama dan terdapat pula dalam Hadist Bukhori. Pada saat adzan Maghrib,
anak-anak disuruh untuk masuk ke dalam rumah dan diajak ke Mushola karena pada
saat Maghrib setan dan iblis berkeliaran. Namun, ada juga tradisi seperti
mencegah bala, arung laut yang oleh masyarakat penganut kejawen dicampur dengan
bacaan Shalawat Nabi, Surat Yasin dan Tahlil. “Sebetulnya Salawat Nabi, bacaan
surat Yasin, dan Tahlilnya tidak menjadi soal, namun jika semua itu dicampur
adukan ke dalam ritual kejawen seperti memberi sesajen menjadi tidak sah, sebab semua
itu dipersembahkan untuk yang lain (selain Allah-)” papar Ustadz Bambang Syuhada.
Mengakarnya
ritual-ritual kejawen yang menjadi tradisi ini bukan tidak mungkin menimbulkan
gesekan (konflik) di masyarakat, pasalnya kondisi ini menyentuh ranah budaya
dan agama yang diyakini masing-masing orang. Ustadz Bambang Syuhada mengatakan,
dibutuhkan peranan ulama-ulama yang berpengaruh di masyarakat untuk memutus
mata rantai bid’ah. “Barangsiapa mengadakan hal baru dalam urusan agama, yang
tidak ada landasan hukumnya, Maka ia tertolak” (HR. Bukhori dan Muslim).
Para Salafush
Solih pun melarang kita untuk mendekati bid’ah. Namun masalah kejawen dan
segala ritualnya yang telah membudaya harus disikapi dengan lembut dan bijak,
karena kondisi ini telah mengakar dan menjadi tradisi turun-temurun. Mulailah
dengan jalan menasehati keluarga dan orang-orang terdekat dengan cara yang
baik. Ini masalah sensitf, penyampaiannya tidak bisa dengan frontal, harus
pelan-pelan karena banyak resikonya maka kita juga harus bersikap hikmah.
D.
Keterkaitan Kejawen, Islam dan Agama
Berdasarkan hasil studi karya seni sastra Jawa abad XVIII yang dilakukan
oleh beberapa peneliti seperti Zoetmulder (Manunggaling Kawula Gusti, 1995),
Simuh (Mistik Islam Kejawen, 1988), dan Niels Mulder (1985), Kejawen merupakan
perkawinan tradisi Islam dengan Hindu – Buddha Jawa. Ajaran Kejawen itu sendiri
tidaklah statis, tetapi terus menerus reseptif terhadap ajaran agama apapun
yang masuk ke lingkungan keraton-keraton Jawa dan Sunda sejak abad XVI.
Islam sendiri, bila di telusuri dari sumbernya yang sah – Alqur’an-
merupakan Din yang bermakna kedamaian. Islam adalah Din, bukan religi. Din
adalah jalan hidup (yang dalam ajaran Islam berasal dari Allah Swt), sedangkan
religi adalah tata cara ritual. Dalam perjalanannya, Din Islam ini terpecah
menjadi religi-religi, terpecah menjadi puluhan golongan, diantaranya adalah
Sunni, Syi’ah dan Wahabiyah. Sedangkan Sunni terbagi lagi menjadi beberapa
madzhab besar seperti Hanafiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah.
Kata Agama, sebenarnya di mata saya kurang tepat bilamana di tempatkan di
depan kata Hindu, Buddha, Kristen/Katholik, Islam, Sikh dan lain sebagainya.
Kata agama dalam bahasa Jawa Kuna merupakan bentukan dari a (tidak) + gama
(kacau), yang berarti aturan, tuntunan, yang ditetapkan oleh Negara/Kerajaan
agar teratur dan tidak kacau. jadi semestinya, orang yang beragama adalah
orang yang mematuhi aturan, mematuhi hukum dan undang-undang Negara. Oleh
karenanya, jika dilihat dari arti kata agama dan din itu sendiri, sungguh itu
tidak sesuai di mata saya, karena seperti yang saya tulis sebelumnya di atas,
din adalah sebuah jalan hidup dari Allah Swt, dan bukan aturan/undang-undang
Negara. Oleh karena itu juga, di Nusantara dulu tidak dikenal istilah Agama
Hindhu, Agama Buddha. Dalam khazanah budaya Jawa dulu, Hindu dan Buddha disebut
dharma, yang artinya kewajiban, tugas hidup, kebenaran. Namun dalam kamus Jawa
Kuna, entri kata Hindu tidak ada, karena dharma yang masuk ke Nusantara pada
zaman dahulu adalah dharma Syiwa, dharma Wisnu dan dharma Buddha. Bahkan
dharma-dharma yang masuk ke kepulauan Nusantara itupun mengalami penyesuaian
diri setelah berinteraksi dengan dharma asli Nusantara.
Disitulah maka jaman dahulu ada semboyan “Bhinneka Tunggal Ika, Tan Hana
Dharma Mangrwa”, berbeda-beda tetapi tetap satu, tidak ada kebenaran yang
mendua. Semboyan yang terkenal pada jaman Majapahit ini menggambarkan, bahwa
apapun dharma orang tersebut, mendapatkan hak dan perlakuan yang sama dari
Negara/Kerajaan.
Keadaan tersebut menjadi berubah ketika berdiri Kerajaan Demak Bintara yang
menggunakan dharma Islam menjadi undang-undang di kerajaan tersebut. Islam
tidak lagi disamakan dengan dharma-dharma yang lain. Dengan kata lain, dengan
Islam diangkat sebagai undang-undang negara, maka gugurlah semboyan kebinekaan
tersebut. Pluralisme yang menjadi tonggak kehidupan yang berlain-lainan
dharmanya itu sirna. Sebab, semua warga negara harus mematuhi undang-undang
negara, sedangkan yang dijadikan undang-undang itu adalah “Islam”.
Setiap warga negara Kesultanan Demak diwajibkan untuk mengikuti agama raja,
agama ageming aji, agama adalah nilai-nilai yang digunakan oleh raja.
Oleh karena itu, terjadilah penaklukan termasuk konversi dharma yang dipeluk
warganya oleh Kesultanan Demak terhadap
kadipaten-kadipaten yang masih setia kepada Majapahit. Sistem penaklukan dharma
ini di kemudian hari dilanjutkan oleh Belanda ketika menjajah Kepulauan Nusantara.
Bahkan Belandalah yang menempatkan ulama-ulama dan aliran dari Timur Tengah di
kerajaan-kerajaan di Nusantara yang telah dikuasainya. Akibatnya, terjadilah
penaklukan dan pemberantasan oleh aliran yang baru masuk terhadap aliran yang
sudah mapan di suatu kerajaan, misalnya pemusnahan pengikut Hamzah Fansuri di
Aceh oleh kelompok Nuruddin ar-Raniri, pemberantasan pengikut Syamsyuddin
Sumatrani dan pelaku dharma tradisional oleh kaum Wahabi di Sumatra Barat, dan
lain-lainnya.
Sedangkan Kejawen sendiri, dari awal senantiasa bersifat reseptif, bisa menerima
apapun yang masuk ke Kepulauan Nusantara ini, dan itu tampak jelas dari
ritual-ritual yang dilakukan penganut dharma-dharma yang ada di Indonesia saat
ini, di antaranya acara-acara selamatan, mitoni, patangpuluhdinanan, nyatus,
nyewu dlsb. Sehingga di mata saya, Kejawen bukanlah sinkretisme dari dharma-dharma
yang masuk ke kepulauan Nusantara, namun justru sebaliknya, dharma-dharma yang masuk
ke kepulauan Nusantara itulah yang menyesuaikan diri dengan Kejawen, dengan
kondisi Nusantara pada saat itu.
Dari situlah awalnya, hingga kemudian muncul istilah nrima ing pandum,
menerima kehendakNya, setelah sebelumnya menemukan sendiri pandum tersebut.
Jadi kata nrima ing pandum ini sebenarnya bersifat aktif progresif, bukan
pasif. Aktif progresif, menemukan dahulu pandumnya, jika memang sudah ketemu
dan pandum tersebut memang menunjukkan demikian, barulah mau menerima.
Kebudayaan spiritual Jawa yang disebut Kejawen, dalam pandangan saya
memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
1. Percaya bahwa hidup di dunia ini merupakan titah dari Tuhan Yang Mahakuasa,
hingga selalu mengolah rasa, mengolah batin untuk mencapai kesempurnaan hidup, meruhi
sangkan paraning dumadi. Meruhi sendiri, bukan hanya sekedar mendengar
cerita dari orang lain atau kabar dari orang lain yang belum jelas
kebenarannya.
2. Orang Jawa juga percaya adanya kehidupan lain di luar kehidupan di dunia
ini, hal-hal gaib yang berada di luar diri.
3.
Orang-orang Kejawen
percaya dan sangat menghargai arwah para leluhur, sehingga sering dalam
waktu-waktu tertentu mengadakan ritual-ritual khusus dalam rangka menghormati
dan menghargai para leluhur.